Oleh: ABU RIZAL SIDIK
Asisten Peneliti VISI NUSANTARA. Saat ini sedang menggarap Project Penelitian Keterbukaan Informasi Publik Desa.
Di balik megahnya Tangerang, tak terlihat ruang-ruang penumbuh wawasan. Seakan imajinasi tenggelam seperti kuburan.
Setiap gedung yang menjulang, selalu tak menyediakan ruang nalar untuk berkembang. Perluasan lahan terus dilakukan. Namun, tak berpihak pada sumber daya manusia.
Perkembangan zaman memberikan dampak tersendiri bagi pemuda maupun masyarakat Tangerang. Termasuk di dalamnya: suasana belajar. Harus ada ruang khusus. Juga perhatian khusus.
Perlu inovasi baru yang ditawarkan untuk menumbuhkan daya tarik pemuda dan masyarakat masa kini. Dalam hal ini, menciptakan ruang-ruang diskusi yang menarik. Seperti, taman baca di pusat pemerintahan, fasilitas diskusi di luar ruangan (outdoor), dan student center.
Padahal, tak seberapa anggaran yang perlu digelontorkan. Terlebih, hasil yang diterima akan melebihi apa yang dikeluarkan. Dampaknya akan mampu merawat nalar kritis dalam berfikir masyarakat dan mahasiswa di kota seribu industri ini.
Menelaah Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). Tahun 2021 Kabupaten Tangerang mencapai Rp850 miliar. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari tahun 2020 sebesar Rp535,49 miliar.
Lagi dan lagi, pemerintah kurang jeli dalam menyusun anggaran. Juga kurang optimal dalam memanfaatkan anggaran. Padahal masih ada yang terlupakan: membangun pusat literasi. Termasuk pusat kegiatan mahasiswa.
Saat ini, realisasi anggaran terus berputar begitu-begitu saja. Kurang kreatif dan sangat tidak berujung. Misal: pelatihan, pembinaan, dan pemberdayaan. Bertahun-tahun polanya sama. Tidak ada terobosan. Miskin gagasan.
Sedang, peyediaan ruang-ruang dialektika begitu tak terlihat. Padahal dengan membangkitkan semangat masyarakat dalam literasi, kemajuan suatu daerah akan lebih cepat dan terlihat. Mengapa pemerintah daerah enggan?
Ada banyak lahan kosong yang berlimpah di setiap sudut wilayah pusat pemerintahan. Sangat bisa dimanfaatkan. Untuk kebutuhan di atas. Membangun student center misalnya. Bukan gedung bersama keagamaan, yang sampai hari ini masih terbengkalai.
Pemerintah daerah telah banyak membangun. Namun tidak sebanding dengan kebutuhan. Faktanya, beberapa sarana tidak juga digunakan. Sementara pusat peradaban tidak nampak sama sekali. Kita sulit mencari tempat untuk sekadar diskusi. Padahal ruang publik semacam student center merupakan pusat peradaban.
Kehadiran pusat kegiatan mahasiswa tentu akan berdampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Di sana akan lahir pemimpin dengan gagasan hebat. Lantaran terus diasah. Dan pada akhirnya, akan menghantarkan kemajuan daerah.
Dengan begitu, secara tidak langsung, Tangerang juga membantu menaikkan neraca index membaca di Indonesia. Lantaran selama ini masih minim akan literasi dibandingkan dengan negara-negara lain.
Poin terpenting, pemerintah daerah jangan hanya gencar membangun tanpa kajian mendalam. Sang pemangku kewenangan harus juga peduli akan sesuatu yang esensial. Output-nya harus jelas. Untuk masa depan.
Lantas, di manakah ruang bagi penerus generasi? Perlu adanya tindakan nyata bagi para penguasa untuk menghindari minimnya literasi. Pejabat daerah jangan hanya berpikir jalan dan jembatan. Harus juga berpikir ruang publik bagi kaum terdidik. Karena Graha Pemuda saja sangat tidak cukup.
Support yang diberikan pemerintah daerah jangan sebatas menerima proposal kegiatan. Perlu juga memfasilitasi tempat untuk bertukar pikiran. Karena yang dibutuhkan mahasiswa adalah ruang publik. Bukan nasi box. Harus segera dibangun pusat kegiatan kaum terdidik. Agar tidak selalu mengemis saat hendak ada acara.
Penulis meyakini, bahwa dengan adanya terobosan baru, berupa penyediaan ruang publik semacam student center akan menambah geliat mahasiswa soal dialektika. Juga mampu menjaga independensinya. Tidak seperti saat ini: selalu berharap pada pemerintah daerah.