Oleh: Endi Biaro
Penulis merupakan mentor Sekolah Menulis Visi Nusantara Angakatan II
SEORANG jago. Jawara. Orang sakti. Digdaya. Belum apa-apa, jika tidak menjadi kepala desa (atau Lurah, atau sebutan lain, di berbagai daerah).
Ini cerita dulu. Khalayak biasa, tak mungkin bisa tarung beroleh pendukung. Andai tak punya pasukan untuk merebut kursi Kades.
Jika menyimak uraian dari buku Sir Thomas Stanford Rafles, berjudul The History of Java, maka jelas sudah, para Kades adalah pribadi mumpuni, punya ilmu linuwih (kelebihan atau kesaktian).
Mari cerna. Pemilihan Kades era silam, 100% pakai sistem Jawara. Dibuat terang-terangan, tak ada peluang adanya manuver, muslihat, atau tipu-tipu.
Para Calon berdiri di lapangan terbuka. Lalu siapa saja yang mau mendukung, berdiri berbaris di belakang. Barisan paling panjang, menang!
Setidaknya, seperti ini yang tercatat di pelbagai referensi. Lalu masuk etafe penggunaan sistem yang lebih “politis”.
Para pemilih tak lagi terbuka memberi suara. Melainkan sudah menggunakan potongan lidi, yang dimasukkan ke wadah bambu, di sebuah bilik tertutup. Kades terpilih, tentu saja, yg mendapatkan lidi terbanyak.
Periode berikutnya kian canggih. Tetapi nuansa Jawara masih kentara. Sebab mereka punya pengaruh, menakut-nakuti pemilih, atau menggiring rakyat pada pilihan tertentu. Sampai tahun 80-an hingga 90-an, peran Jawara masih terasa.
Kini? Kapitalisasi Pilkades jauh lebih menentukan. Faktor serangan fajar, bagi-bagi Sembako, biaya tim sukses, open house siang malam di rumah calon, benar-benar butuh biaya besar.
Jawara tak sepenuhnya hilang, namun kian terpinggirkan. Paling jauh hanya menjadi pengaman.
Secara logika, Pilkades saat ini nyaris rasional. Ada strategi, main opini, sosialisasi, dan visi misi. Sudah tentu juga “gizi”.
Disebut nyaris, karena toh pola-pola non rasional juga masih menyembul. Perdukunan, ziarah ke Embah, petunjuk dukun, dan melibatkan magic, tetap saja diminati para calon.
Lebih tepat, Pilkades era kini disebut seolah-olah rasional.
Sisi positif jelas terjadi. Pilkades memberi ruang bagi siapa saja yang punya potensi berkompetisi. Kecerdasan manuver juga bisa menjadi penentu. Satu dua, Kades terpilih adalah sosok cerdas dan kompeten.
Tetapi sistem moderen ini juga menjadi kotak pandora, di saat berbagai penyakit politik berdatangan.
Apa saja? Pertama, sistem saat ini memungkinkan orang luar, atau orang yang tak ada riwayat mengabdi di sebuah desa, untuk ikut kontestasi. Jabatan Kades, akhirnya bisa dibeli.
Kedua, para bandar, pemilik uang, pedagang, juragan, yang sama sekali tak ada kepedulian membangun desa, juga bisa berperan serta. Kekuatan kapital mereka, menjadi palu godam bagi calon lain yang keuangannya terbatas.
Ketiga, demokrasi akar rumput, yang mestinya berbasis kekerabatan, persaudaraan, atau minimal dipimpin para pengabdi desa, menjadi hancur. Pilkades selesai sebagai pesta saweran uang. Permainan uang, kerapkali brutal.
Keempat, meski rezim hukum Pilkades terkesan demokratis, tetapi senyatanya pincang.
Jika kita telisik detil, rezim hukum Pilkades tak memberi saluran mekanisme penyelesaian hukum yang jelas. Tak ada saluran gugatan kecurangan. Tak ada lembaga penyelesaian sengketa. Keputusan menyelesaikan Pilkades, sepenuhnya di Kepala Daerah.
Jadinya, Pilkades adalah hukum rimba.
Siapa pun yang punya uang, bisa membeli panitia, membeli pemilik suara, dan membeli kemenangan. Sama sekali tak ada kontrol.