Kelas Menengah Ngehe

Oleh: Subandi Musbah
Direktur VISI NUSANTARA

SETIDAKNYA ada tiga kategori kelas menengah di Banten. Posisi masyarakat yang berada satu tingkat di atas fase awal. Bawah-Menengah-Elit. Mereka yang menduduki posisi relatif aman. Sudah tidak lagi direpotkan kebutuhan pokok.

Pertama, hebat karena “dipiara” birokrat. Sukses lantaran dimuluskan oleh uang yang bersumber dari rakyat. Besar sebab fasilitas negara. Pemerintah daerah memberi banyak kemudahan kepadanya. Entah dengan maksud membungkam atau bukan.

Kedua, seseorang yang berkembang dengan menggunakan kekayaan orang tua. Memanfaatkan warisan leluhurnya. Maju dan berkembang lantaran ada fasilitas dari sang ayah. Singkat kata, hebat karena turunan.

Terakhir, orang yang terus bergeliat mencari makna. Tanpa menjilat kekuasaan dan tidak ada fasilitas dari kedua orang tuanya. Dialektika terus menerus mengakibatkan pengalaman dan prestasi semakin meningkat. Terus berproses dari bawah. Dan menjadi luar biasa.

Kelas menengah di Banten tidaklah tunggal. Intelektual, pengusaha, dan aktivis bisa masuk strata ini. Melalui tiga macam di atas. Jalur piaraan pemerintah, anak karena orang tuanya banyak cuan, atau melalui gerakan mandiri.

Siapa saja Kelas Menengah Ngehe itu?

Intelektual, pengusaha, dan aktivis yang enggan mengedepankan civic virtue. Mereka yang kerap menukar idealismenya dengan kepentingan pribadi. Intelektual yang kerjanya memanipulasi kebenaran demi keuntungan sesaat.

Seorang pendidik atau dosen yang tidak pernah menyuarakan kepentingan publik hemat saya masuk kategoti yang sedang dibahas. Aktivis yang teriak kencang dan lantas diam setelah disumpal proyek juga demikian. Keduanya merupakan kelas menengah ngehe.

Kelas menengah ngehe bukan hanya merusak. Namun jauh dari itu, ia sesungguhnya menyebabkan status quo semakin langgeng. Memperburuk keadaan dan membuat semakin jauh dari nilai-nilai positif.

Kelas menengah ngehe barangkali penyebab utama mengapa Banten ini masih saja terpuruk. Atau setidaknya masih berada pada posisi biasa-biasa saja. Tidak hebat. Juga tidak menggembirakan.

Bagaimana dengan kiyai yang kemarin ikut korupsi dana hibah pondok pesantren? Mereka adalah the real kelas menengah ngehe. Bahkan jauh dari itu, menjadi biang keladi hancurnya segala norma.

Oh iyah lupa, itu yang di rumahnya masih memakai gas melon, masuk kategori kelas menengah ngehe. Merebut hak orang miskin. Curang dan culas. Barangkali, ini hanya barangkali yah. Sekali lagi, barangkali, doa kita tidak terkabul lantaran terganjal gas elpiji melon. Yang 3 kilogram itu.

Kaum terdidik oportunis, orang kaya egois, dan aktivis pragmatis adalah contoh sempurna dari kelas menengah ngehe. Kehadiran mereka tidak berarti apa-apa bagi kemajuan daerah. Terlebih bagi hajat hidup orang banyak. Kelas bawah (red: miskin) harus berdoa agar mereka lenyap dari muka bumi. Karakternya, bukan person.

Pamungkas, bagaimana dengan sang senior. Melarang ini dan itu. Nyuru tertib sampai mendikte gerakan adik junior. Ngelarang demo. Kerap bilang jangan kritis. Apakah mereka termasuk kelas menengah ngehe? Sekencang-kencang teriakan kita ucapkan, bahkan boleh pakai toa: itu bukan hanya ngehe, tapi sangat ngehe. Senior kurang ajar.

Terkini

Agenda

Opini

Tangerang, Kaya Pendapatan Miskin Gagasan

Memahami Demokrasi dan Pemilu di Indonesia

Politik Identitas, Benalu Demokrasi

Inspiratif

Catatan Pinggir

Politik Budgeting

Konsisten atau Dikoyak Sepi

Kelas Menengah Ngehe

Bukan Soal Menang atau Kalah

Verba Volant Scripta Manent

Membaca Ulang Aktor Demokrasi

Pesan untuk KMT