Oleh: Subandi Musbah
Direktur VISI NUSANTARA
KATA Cak Nun, bukan soal apakah kita menang atau kalah. Tuhan tidak mewajibkan manusia untuk menang sehingga kalah pun bukan dosa. Terpenting adalah apakah seseorang berjuang atau tidak.
11 tahun silam, di ruang pertemuan warga. Milik salah satu desa di wilayah Balaraja. Sekira 70 orang berunding. Adu argumentasi. Bahkan lebih dari itu: saling tunjuk dan gertak.
Riuh, gaduh, dan sempat memanas. Saat itu, usia saya 26 tahun. Mendampingi puluhan warga yang sedang mencari nafkah tapi terbentur semacam aturan yang dibuat penguasa.
Masih terngiang dalam ingatan: warga versus penguasa. Ada perwakilan direksi BUMD Pasar Niaga Kerta Raharja. Muspika Balaraja. Juga perwakilan pengusaha. Termasuk beberapa aparat negara. Hadir dalam acara itu.
Saya ikut berjuang melawan mereka. Mendampingi warga yang saat itu tidak berdaya. Lantaran melawan orang-orang hebat. Dan hasilnya, alhamdulillah sangat menggembirakan.
Saat ini, beberapa warga minta dukungan moril dan bantuan merumuskan narasi argumentatif. Lokusnya memang beda. Persoalannya juga tidak begitu sama. Namun serupa. Kali ini bukan warga Balaraja, tapi masih Kabupaten Tangerang.
Mereka berhadapan dengan penguasa. Beberapa pengakuan–kerap menerima semacam teror. Ditakut-takuti. Intinya agar tidak melawan. Menerima saja apa yang terjadi. Padahal faktanya sangat menyayat hati.
Ada 38 keluarga yang usahanya hampir gulung tikar. Tutup karena kebijakan sepihak. Mereka dipaksa bangkrut oleh mereka yang seharusnya mengayomi. Begitu kira-kira kalimat pembuka mereka.
Bahkan, untuk sekadar menyampaikan aspirasi saja, begitu susah. Massa aksi tidak bisa menuju depan gedung bupati. Aparat berjaga-jaga di seluruh titik menuju Pusat Pemeritahan Kabupaten Tangerang di Tigaraksa.
Alasannya pandemi. Sehingga puluhan pedagang hanya bisa teriak jauh dari pusat kekuasan. Begitu mengerikan. Padahal ini negeri demokrasi. Sementara dalam waktu bersamaan, anak buah Ahmed Zaki Iskandar bebas mengadakan acara. Ramai pula.
Di ruang sempit Visi Nusantara, air mata begitu terlihat jelas. Menangis. Bahkan ada yang mengaku pisah ranjang karena himpitan ekonomi. Begitu mereka mengadu. Selebihnya tidak saya sampaikan di sini.
Pengetahun saya memang tidak luas. Namun tetap siap memberi saran dan merumuskan argumentasi. Agar perjuangan ini bisa menghasilkan. Kalaupun tidak menang, setidaknya rakyat tidak diam.
Saya katakan pada mereka: perjuangan harus terus dilakukan. Agar anak keturunan kita bangga bahwa orang tuanya pernah diperlakukan tidak adil oleh kekuasaan. Dan melawan. Soal hasil itu nomor dua.
Saya berdoa, perjuangan mereka menghasilkan keputusan. Berpihak pada keadilan. Bukan pemilik modal. Juga bukan pada ego. Atau persoalan ini akan terus menjadi preseden buruk sepanjang masa.
Teruslah berjuang sampai Tuhan melihat kesungguhan kita. Perlawanan ini Insya Allah akan mendapat pahala. Asal diniatkan ibadah. Selebihnya biarkan mekanisme alam yang berlaku. Alam akan bekerja dengan caranya.
—