Oleh: Abdul Haris
Penulis saat ini sebagai koordinator project penulisan buku Visi Nusantara.
BEBERAPA tahun belakangan menguat isu politik identitas (political of identity). Tentu memiliki impact pada kehidupan masyarakat majemuk yang kian terkikis nilai persatuannya.
Fenomena politik seperti ini menjadi penanda bahwa gagasan dan pikiran tidak lagi dikedepankan untuk membangun sebuah bangsa. Alih-alih menawarkan gagasan malah mundur satu abad kebelakang.
Politik identitas biasanya datang dari beberapa hal. Kita sebut saja suku, agama, sosial, etnis, golongan, dan ras. Itu pendulumnya. Dijadikan sebagai komoditas.
Sebenarnya Donald L Morowitz (1998), salah satu pakar politik dari Universitas Duke telah mendefinisikan politik identitas sebagai pemberian garis yang sangat tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak.
Sedangkan para ilmuwan yang bergelut dalam wacana politik identitas lainnya pun telah mencoba menafsirkan kembali dalam logika yang sangat sederhana dan lebih operasional.
Sebut saja Agnes Heller misalnya, yang telah mendefinisikan politik identitas sebagai sebuah gerakan politik yang fokus perhatiannya pada suatu perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama.
Dalam konteks ini, jika kita tarik ke Indonesia, tentu bisa melihat dari pemilu 2019 lalu, bagaimana fenomena politik identitas terjadi sangat masif dan berlangsung lama. Dan ini menjadi semacam peluang bagi elit politik yang terus memanfaatkan momentum untuk kepentingan kelompok bahkan pribadi.
Gejala politik seperti itu menjadi momok menakutkan bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Anak bangsa tidak lagi berorientasi pada ide melainkan penolakan terhadap kemajuan.
Masyarakat Indonesia harus sadar betul bahwa setiap pesta demokrasi akan selalu hadir kepentingan besar. Juga selalu terbesit kepentingan individual dan kelompok. Oleh karenanya, kecerdasan dalam berdemokrasi sangat penting bagi semua kalangan dan masyarakat umum.
Untuk hal itu, sebagai kaum terdidik dalam melihat setiap fenomena, bagaimana sebisa mungkin rakyat Indonesia mengambil sebuah keputusan dengan mempertimbangkan yang paling kecil mudharat-nya, sehingga risiko dalam perpecahan sangat mungkin teratasi.
Lebih lanjut, politik identitas pasti menjadi benalu bagi demokrasi. Menjadikan agama sebagai jualan politik tidak akan pernah berakhir dengan baik.
Politik identitas hanya akan memunculkan perosalan. Ia mewakili kepentingan-kepentingan individual yang berakibat pada kehancuran suatu bangsa itu sendiri.
Bangsa Indonesia harus bercontoh pada proses demokrasi di USA yang siapa saja bisa masuk dan berkuasa, asalkan membawa gagasan dan ide bagi kemajuan negara. Poin utamanya gagasan bukan latar belakang SARA.
Di Amerika Serikat, masyarakat berkulit hitam sudah mempunyai kesempatan sama untuk memimpin. Artinya demokrasi benar-benar terjadi di negara adidaya itu.
Bagaimana dengan Indonesia?
Apakah takbir masih terus berkumadang saat kampanye? Bahkan ketika terjadi kekerasan!
Atau, masihkan istilah pribumi menguat? Jika ia, itu artinya kita masih perlu banyak belajar. Benalu itu masih sangat terasa. Tinggal bagaimana kedewasaan kita.
Esok, 2024, Pemilu serentak dihelat. Kita perlu memastikan, politik identitas itu tidak mencederai hajat demokrasi lima tahunan. Publik harus menilai sang kandidat dari rekam jejal dan gagasannya. Bukan agama atau suku.