Oleh: Imron Mahrus
(Anggota KPU Kabupaten Tangerang)
DEMOKRASI pertama kali diperkenalkan di Athena, Yunani. Oleh Kleisthenes, pada tahun 508-507 SM. Berasal dari Bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan atau kekuasaan).
Pada awal kemunculannya, demokrasi dipahami sebagai bentuk partisipasi masyarakat secara langsung (direct democracy) dalam mempengaruhi proses politik yang terjadi saat itu. Seperti membuat aturan hukum, menentukan perang atau damai, memilih petinggi militer, hakim, dan lain sebagainya. Keterlibatan langsung dalam mengambil keputusan ini bisa terjadi karena jumlah penduduk Athena pada saat itu relatif sangat kecil.
Paul Broker dalam tulisan Muslim Mufti Teori-Teori Demokrasi (2013:21) menjelaskan bahwa demokrasi memiliki banyak terminologi, antara lain menyangkut aturan manusia, aturan majelis, aturan partai, aturan umum, kediktatoran kaum proletar, partisipasi politik maksimal, kompetisi para elit dalam meraih suara, multipartai, pluralism sosial dan politik, persamaan hak, kebebasan berpolitik dan sipil, sebuah masyarakat yang bebas, ekonomi pasar bebas, dan lain-lain.
Ada juga yang mendefinisikan demokrasi sebagai persaingan terbuka untuk mendapatkan hak menguasai pemerintahan.
Seiring berjalannya waktu, banyak negara yang kemudian mengganggap bahwa demokrasi adalah sistem yang ideal jika dibandingkan dengan sistem-sistem lainya yang pernah ada seperti, monarki, aristokrasi, oligarki, tirani, teknokrasi dan plutokrasi.
Larry Berman dan Bruce Allen Murphy dalam karyanya yang berjudul Approaching Democracy (1999:3) menjelaskan bahwa demokrasi sebagai sistem politik menjadi semakin populer. Setidaknya dari 191 negara di dunia pada akhir tahun 1996 sebanyak 118 negara telah menganut sistem demokrasi.
Salah satu faktor yang menyebabkan demokrasi semakin digandrungi oleh negara-negara di dunia adalah karena bentuk pemerintahan rezim yang otoriter dan despotis tidak dapat memberikan kesejahteraan dan kebebasan dalam berpendapat baik secara individu maupun kelompok.
Demokrasi di Indonesia
Setelah lepas dari cengkeraman penjajah Belanda dan Jepang, Bangsa Indonesia mencoba untuk menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang ideal. Tentu saja niat ini tidak mudah, selain karena paham demokrasi berasal dari brat faktor lainnya karena masih banyak rakyat Indonesia pada saat itu yang buta huruf, hidup dalam kondisi serba kekurangan, dan terbiasa dengan kekuasaan yang otoriter.
Sejarawan Indonesia M.C. Ricklefs dalam karyanya yang berjudul Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2007:471), menggambarkan kegagalan penerapan demokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan disebabkan karena demokrasi hanya dipahami oleh segelintir elit kaum nasionalis perkotaan yang paternalistik dan peyoratif. Â Dampaknya terjadi korupsi, ketidakadilan sosial, disintegrasi, dan cita-cita yang ditimbulkan oleh revolusi tidak dapat direalisasikan.
Jika didasarkan pada periodisasi, demokrasi di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode:
- Periode demokrasi parlementer (1945-1959);
- Periode demokrasi terpimpin (1959-1965);
- Periode demokrasi Pancasila (1965-1998);
- Periode demokrasi Pancasila era reformasi (1998-sekarang).
Franz Magnis Suseno (1995:58) menegaskan setidaknya lima prinsip sebuah negara dikatakan demokratis, diantaranya adalah negara hukum, pemerintahan yang di bawah kontrol nyata masyarakat, pemilihan umum yang bebas, prinsip mayoritas dan adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.
Singkat kata, sebuah negara bisa dikatakan sebagai negara yang demokratis jika memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam mengungkapkan pendapat, menghormati minoritas, equality before the law serta menentukan pemimpin tanpa diintimidasi oleh pihak-pihak tertentu.
Pemilu di Indonesia
Menurut UU Nomor 7 tahun 2017 Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara sederhana, Pemilu dipahami sebagai keikutsertaan rakyat dalam memberikan suara kepada calon wakil rakyat yang nantinya akan menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan legislatif setiap lima tahun sekali.
Hal ini selaras dengan UUD 1945 pasal (1) ayat (2) yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang. Dan pasal 22E yang berbunyi pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Sejarah mencatat, Indonesia pertama kali melaksanakan Pemilu tahun 1955 pada era pemerintahan Orde Lama. Pemilu pada tahun ini bertujuan untuk memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante, tepatnya sepuluh tahun setelah bangsa Indonesia merdeka.
Pemilu 1955 dilakukan dalam dua tahap, yakni pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih 260 anggota DPR yang pesertanya berasal dari 36 partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 calon perseorangan. Sedangkan pada 15 Desember 1955 untuk memilih 520 anggota Konstituante, pesertanya adalah 39 partai politik, 23 organisasi kemasyarakatan, dan 29 calon perseorangan dengan asas Pemilu jujur, berkesamaan dan luber.
Kemudian pada era Orde Baru Pemilu diselenggarakan sebanyak enam kali, yaitu pada tahun 1971,1977, 1982,1987,1992, dan 1997 untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada era ini juga tepatnya pada tahun 1973 jumlah partai politik disederhanakan (fusi) menjadi dua partai dan satu Golongan Karya.
Partai-partai yang berhaluan Islam dipaksa pemerintah untuk bergabung di dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan partai yang berhaluan nasionalis dan Kristen dipaksa bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Selanjutnya pada tahun 1998 gelombang reformasi yang terdiri dari seluruh elemen masyarakat Indonesia turun ke jalan menuntut agar Soeharto lengser dari kursi presiden. Gerakan ini berhasil memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998Â dan digantikan oleh B.J. Habibie. Merebaknya korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi penyebab masyarakat gerah dengan gaya kepemimpinan Soeharto.
Setelah Soeharto lengser Indonesia memasuki babak baru dengan sebutan era reformasi. Pada era ini wajah Pemilu di Indonesia berbeda dengan Pemilu-pemilu sebelumnnya. Presiden tidak lagi dipilih oleh anggota MPR tapi rakyat langsung yang memilih dan asas Pemilu yang tadinya hanya LUBER berubah menjadi LUBER dan JURDIL. Selain itu, euforia menyambut era baru ini juga  diekspresikan oleh masyarakat Indonesia salah satunya dengan mendirikan partai politik.
Pasca reformasi, sudah empat kali Pemilu dilaksanakan yakni pada tahun 2004, 2009, 2014 dan 2019. Dan di tahun 2024 yang akan datang, pesta demokrasi lima tahunan juga akan digelar kembali. Tidak hanya Pemilu tapi Pilkada juga dilakukan pada tahun yang sama.
Keserentakan Pemilu dan Pilkada ini menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara. Berbagai potensi masalah seperti logistik, data pemilih, anggaran, sarana dan prasarana, kondisi alam dan non alam harus menjadi perhatian kita bersama sejak dini.
Oleh sebab itu, demi suksesnya penyelenggaran Pemilu partisipasi dari masyarakat dalam Pemilu sangat dibutuhkan. Bentuk partisipasi tersebut berupa keterlibatan dalam tahapan penyelenggaraan Pemilu, pengawasan pada setiap tahapan Pemilu, sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih dan pemantauan Pemilu.
Meminjam istilah Hegel bahwa setiap masa selalu memiliki semangat zaman atau zeitgeist, baik itu individu, alam, sejarah dan masyarakat. Oleh karena itu, pengetahuan, kesadaran, keterampilan, terobosan dan inovasi penyelenggara Pemilu juga tidak kalah pentingnya, mengingat semangat zaman dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan.
Korelasi Demokrasi dan Pemilu
Berbicara tentang demokrasi sangatlah kompleks, karena mencakup beberapa prinsip, seperti, kebebasan berpendapat, persamaan di depan hukum, kedaulatan rakyat (Pemilu) dan lain sebagainya. Sedangkan membahas Pemilu lebih berbicara tentang suksesi kepemimpinan yang terjadi lima tahun sekali.
Oleh karena itu, tanpa adanya demokrasi sangat mustahil penyelenggaraan Pemilu bisa terlaksana dengan baik. Demokrasi dan Pemilu memiliki hubungan yang penting karena demokrasi dan Pemilu memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk menggunakan hak politiknya, terjaminnya pergantian kepemimpinan secara reguler dan damai, serta mempertahankan kedaulatan rakyat dan tegaknya negara.
Tanpa adanya demokrasi, sangat mustahil penyelenggaraan Pemilu yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil bisa terlaksana dengan baik.