Oleh: Subandi Musbah
Direktur VISI NUSANTARA
PEMUDA, sejak dulu selalu menjadi magnet. Juga penggerak utama. Hampir semua sektor. Mulai dari perjuangan kemerdekaan sampai gerakan moral peruntuhan rezim. Tidak bisa terbantahkan bahwa setiap momentum penting bangsa ini selalu dipelopori kaum muda.
Tengok saja, masa perjuangan dan awal-awal pengisian kemerdekaan. Sederet nama besar muncul. Didominasi golongam muda. Mulai Soekarno, Mohammad Hatta, M. Yamin, Soedirman, Sutan Syahrir, Wikana, Supeno, Daan Mogot, Soekarni, Margonda, sampai Bung Tomo. Sebagian dari mereka gugur di medan perang. Usianya sangat muda sekali.
Pekik kemerdekaan dan gelora perjuangan lebih bergemuruh jika dilontarkan kaum muda. Dan faktanya memang demikian. Indonesia selalu diisi oleh mereka yang usianya tidak terlalu tua. Geliatnya sangat terasa. Terbaca melalui buku-buku sejarah. Mereka yang menjadi aktor penting dalam setiap momentum selalu kalangan muda. Sebut saja Gerakan 1908, Gerakan Sumpah Pemuda 1928, Gerakan Perintis Kemerdekaan 1945, Tahun 1966, 1974, 1978, dan Reformasi 1998.
Paling fenomenal, 24 tahun silam. Saat Soeharto dipaksa turun. Pada tahun 1998. Melalui momentum reformasi. Setelah sekira 32 tahun berkuasa. Memimpin Indonesia dengan rezim yang biasa kita sebut sebagai Orde Baru (Orba). Antitesis masa kepresidenan Soekarno, yang saat itu lebih familiar dengan istilah Orde Lama.
Sulit dipungkiri, kejatuhan Orde Baru lantaran kaum muda. Mereka bersatu padu menuntut perbaikan sistem. Juga pergantian rezim. Ratusan ribu mahasiwa dan aktivis turun ke jalan. Menyuarakan keprihatinan dan persoalan bangsa. Setelah sebelumnya dihantam krisis ekonomi. Gemuruh itu tersebar ke seluruh penjuru Indonesia. Dengan nada dan irama yang sama: ganti rezim. Sebuah fakta yang tidak bisa dilupakan. Perjuangan anak muda menuju perubahan seluruh lini kehidupan.
Patahan sejarah telah mengajari bangsa ini, bahwa peran pemuda begitu besar dan sangat terasa. Bahkan untuk sekadar hal terkecil sekalipun, peran pemuda begitu dibutuhkan. Apalagi merebut kemerdekaan, mengisi, mempertahankan, dan kini membangun kesejahteraan bangsa.
Peran kaum muda sangat dibutuhkan. Tentu bukan berarti menafikan perjuangan orang tua. Ini hanya penekanan saja, bahwa peran utama dan yang sangat mendominasi adalah mereka yang usianya di bawah 40 tahun.
Pantas saja Seokarno pernah berkata, “Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia.” Sebelumnya Tan Malaka bicara soal pemuda, katanya, idealisme adalah kemewahan terakahir yang hanya dimiliki oleh pemuda. Juga pepatah arab. Begitu terkenal: Pemuda hari ini, pemimpin masa depan.
Ungkapan di atas bukan tanpa makna. Tersirat jelas bahwa memang pemuda begitu strategis peranannya. Di segala bidang, termasuk agama, budaya, teknologi, hukum, sosial, ekonomi, dan politik. Kita mudah melacak siapa saja aktor yang tampil dan mewarnai dunia. Mark Zuckerberg misalnya, di usia yang sangat muda, mampu sukses mendirikan Facebook. Atau Nadiem Makarim, yang saat ini dipercaya Jokowi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumya sukses membangun raksasa starup bernama Gojek.
Sektor ekonomi juga punya sederet figur. Mulai Sandiaga Salahudin Uno. Mantan Ketua HIPMI ini cukup pantas menjadi contoh bahwa generasi muda bisa jadi orang sukses dan konglomerat. Mengkaryakan ratusan ribu warga. Memberdayakan ribuaan UMKM. Memberi motivasi bagi ratusan perintis starup muda, bahkan menjadi role model keberhasilan kaum muda Indonesia.
Lantas untuk dunia politik? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan terlebih dahulu menyebut beberapa nama tenar. Tidak banyak tapi ada. Sebut saja Andika Hazrumy, Wali Kota Bogor Bima Arya, dan Emil Elestianto Dardak yang saat ini sedang dipercaya warga Jawa Timur sebagai Wakil Gubernur. Kalau di Sumatera ada nama Zumi Zola, di Sulawesi bisa menyebut Sigit Purnomo Said atau lebih tenar Pasya Ungu, dan beberapa figur muda lainnya.
Bagaimana dengan aktor demokrasi? Adakah nama mencuat? Seberapa besar animo pemuda terjuan ke gelanggang politik atau penyelenggara Pemilu? Apakah kaum muda masih seperti dulu? Hanya sebagai pelengkap. Menjadi objek bagi politisi. Atau bahkan apatis. Padahal jumlahnya sangat besar. Secara kualitas maupun kuantitas. Betul-betul bisa mewarnai, jika saja mulai peduli dan siap menjadi subjek atau aktor. Baik demokrasi maupun turunannya. Seperti Pemilu.
Sederet pertanyaan di atas bisa diurai dengan fakta-fakta mencengangkan. Pertama, baik politisi maupun pengambil kebijakan masih kerap menjadikan pemuda sebagai objek. Lihat saja saat Pemilu. Gerakan menggaet suara milenial betul-betul masif.
Kedua soal pandangan kaum “kolot”, menganggap pemuda tidak akan becus mengemban amanah terkait hajat demokrasi. Beberapa tahun terakhir, penyelenggara pemilu tingkat kecamatan dan desa termasuk TPS kerap diisi oleh orang lama yang usianya sudah sangat tua.
Terakhir soal motivasi dari pemuda itu sendiri. Masih sangat banyak yang enggan. Apatis lantaran barangkali persoalan informasi dan minat. Atau alasan lain yang tentu perlu diurai. Bersama-sama.
Dewasa ini, semacam ada keengganan kaum muda terjun ke dunia politik. Ada banyak gimmick yang kerap disampaikan banyak kalangan melalui jejaring media sosial. Mulai Facebook, Instagram, Youtube, sampai TikTok. Bahkan televisi. Selalu mengatakan, bahwa politik itu kotor, jahat, dan korup. Pandangan tersebut tentu meracuni banyak kaum muda, dan pada akhirnya enggan terjun ke dunia politik. Sebagai aktor demokrasi seperti penyelenggara atau menjadi politisi.
Keengganan itu membuat warna demokrasi Indonesia miskin gagasan, garing ide, dan tidak kreatif. Padahal jika dihitung, ada sekitar 82 juta. Jumlah yang benar-benar besar. Mengalahkan semua segmen. Persoalan kemudian, jika aktor demokrasi tidak diisi kaum muda, maka outputnya sulit digandrungi mereka. Sehingga pada akhirnya menjadi apatis. Padahal banyak sekali peran yang bisa dilakukan. Menjadi penyelenggara, pemantau, relawan, dan bisa saja sebagai konsultan.
Harus ada gerakan melek politik. Agar kaum muda mulai melirik. Menjadi bagian dari perubahan besar bangsa Indonesia. Melalui kerja-kerja kongkret semua sektor. Pemuda harus diberi stimulus agar menjadi bagian dari aktor demokrasi. Berperan sesuai karakter dan tujuannya. Menduduki posisi strategis institusi kepemiluan: menjadi penyelenggara, konsultan, pemantau dan pubilc campaign. Atau masuk politik praktis: menjadi Caleg, staf ahli, pengurus inti partai politik, dan posisi strategis lainnya.
Akademisi, aktivis, dan siapa saja sudah harus mulai menggeser paradigma lama. Bahwa pemuda itu bukan lagi objek demokrasi. Mereka harus berperan aktif. Menjadi bagian dari demokrasi itu sendiri. Mewarnai sekaligus menampilkan program perspektif milenial. Agar yang 82 juta itu tidak apatis. Dan mulai peduli politik. Karena kehadiran mereka sangat berpengaruh bagi kemajuan bangsa. Semakin apatis generasi muda maka bangsa ini akan semakin jauh dari percaturan global.
Kerja-kerja semacam ini memang tidak gampang. Harus diawali dengan kesadaran kolektif. Memberi ruang bagi kaum muda untuk memimpin. Menjadikan kaum muda sebagai prioritas dalam setiap pengisian posisi strategis kepemiluan. Bahkan mendorong mereka untuk menjadi pengurus kunci partai politik. Kini saatnya kaum muda sadar politik. Menjadi bagian dari perubahan bangsa melalui prosedur demokratis.
Penyelenggara Pemilu harus diisi oleh kaum muda, instititusi politik juga demikian. Termasuk aktor demokrasi lainnya. Membangun citra dan melahirkan gagasan brilian pro milenial. Agar sikap apatis mayoritas kaum muda lambat laun mulai terkikis. Tidak mudah memang, tapi harus dilakukan. Agar bonus demografi tidak menjadi petaka. Saatnya yang muda menjadi bagian dari demokrasi. Melalui saluran resmi. Mengisi posisi startegis seraya menyuarakan kehendak generasi Y dan Z.