Oleh: Subandi Musbah
Direktur VISI NUSANTARA
DEMOKRASI menjamin kedaulatan rakyat terus terjaga. Hanya melalui saluran pemilu, penyerahan sebagian kekuasan individu dan hak warga bisa dilakukan. Semula, setiap manusia berdaulat atas segala keyakinan, kebebasan, dan pendapatnya.
Adalah negara, menjadi semacam katalisator penyalur kedaulatan. Yang tadinya setiap pribadi berdaulat, dengan adanya state, kedaulatan itu dititipkan dalam tanda kutip. Kepada wakil rakyat. Juga eksekutif.
Tentu butuh instrumen, agar penyerahan kedaulatan berlangsung logis dan legitimate. Melalui sistem demokrasi, proses itu berlangsung: pemilihan umum. Atau Pemilu.
Esok, 2024, kita hanya akan disuguhkan dua rezim pemilihan: Pileg dan dan Pilres. Presiden dan dewan rencananya dilaksanakan 14 Februari 2024. Sementara kepala daerah, baik bupati atau walikota maupun Gubernur, kalau tidak ada halangan pada 27 November. Tahun yang sama.
Sebenarnya tidak serentak. Hanya tahunnya saja sama. Jaraknya beda. Relatif jauh. Sekira 8 bulan lebih. Jadi wacana penggabungan pemilu benar-benar belum benar.
Aturan resmi mengamanatkan bahwa hanya melalui pemilu, distribusi kedaulatan dan pergantian kekuasaan bisa dilakukan. Meskipun untuk saat ini penjabat gubernur ditentukan oleh presiden. Lantas apakah itu tidak legitimate? Perlu kajian mendalam.
Pemilu acapkali dikatakan sebagai proses penyaluran aspirasi rakyat. Baik untuk kepentingan pusat maupun daerah. Isu pergantian rezim menemukan momentumnya pada perhelatan akbar lima tahunan.
Karena pemilu itu momentum peralihan kekuasaan, tidak jarang dikangkangi banyak kepentingan. Demokrasi kerap dikebiri oligarki. Juga bandar. Dan benalu lainnya. Semacam politik identitas.
Kita bisa mencatat dengan baik, selain serangan fajar dan kejahatan pemilu lainnya, setiap jelang pemilihan, selalu ada 4 bayang-banyang besar dus menakutkan. Bahaya untuk demokrasi. Juga persatuan Indonesia.
Tengok saja media sosial: Black Campaigne,, Hoax, Hate Speech, dan Post Truth. Empat “mahluk” itu terus bergentayangan. Diproduksi, dikemas, disebarkan, dan ditelan mentah-mentah.
Stabilitas demokrasi tentu sangat mungkin goyah oleh banyak faktor. 2019 setidaknya bukti paking nyata. Jelas sekali. Seperti disebutkan di atas. Terbaru soal post truth.
Apa itu post truth?
Pertama kali, secara resmi istilah post truth digunakan pada 2016. Konteksnya politik di Amerika Serikat. Namun, term post truth bisa dilacak jauh sebelum itu, tepatnya 1992. Publik baru mendalaminya pasca pilpres Amerika. Saat Donal Trump menang.
Post truth bisa dimaknai sebagai politik pasca kebenaran. Ada juga yang mendefinisikan politik pasca fakta. Budaya politik yang mengedepankan emosi, bukan kebenaran. Terus berulang menyampaikan sesuatu yang tidak berdasar.
Post truth tidak memposisikan kebenaran sebagai yang utama. Digaungkan sebagai alat propaganda. Berulang-ulang sampai publik menganggap itu adalah kebenaran.
Post truth digunakan sebagai alat agitasi untuk tujuan menjatuhkan kompetitor. Semacam black campaign. Bahkan jauh dari itu, hoax. Post truth didesign oleh kaum terdidik. Dirancang untuk kepentingan downgrade lawan.
Dalam konsep post truth, kebohongan yang diulang terus menerus akan mempengaruhi situasi emosi publik. Dan pada akhirnya dianggap sebuah fakta. Kebenaran semu dari konklusi demikian tentu berbahaya bagi stabilitas demokrasi.
Amatan penulis, post truth pernah digaungkan kubu Wahidin Halim-Andika Hazrumy. Saat head to head dengan Rano Karno yang berpasangan dengan Embay Mulya Syarif.
Seingat saya, setidaknya Wahidin Halim menyampaikan di ruang publik dua kali. Saat rampat umum berupa kampanye akbar dan debat kandidat di televisi.
WH melempar pernyataan tendensius berupa isu komunis. Disampaikan berulang-ulang. Padahal itu belum tentu faktual. Tapi terus diproduksi.
Mudah ditebak, ke mana arah pernyataan Wahidin Walim dialamatkan. Lantaran calonnya hanya dua pasang. Kelompok WH ingin mengambil keuntungan dari politik post truth tersebut.
Isu komunis menjadi viral. Publik terbelah, masyarakat awam pasti ada yang mempercayainya sebagai kebeneran. Dan tentu berdampak pada elektoral.
Model politik pasca fakta dijual demi kepentingan sesaat. Sialnya dampak disintegrasinya bisa berlangsung lama. Mengakar di memori kolektif warga. Padahal itu belum tentu benar.
Kejadin seruap tidak boleh terulang, baik Banten maupun Tangerang. Kita harus memastikan politik gagasan mendominasi ruang publik. Termasuk jagat maya. Bukan politik identitas. Apalagi post truth.
Pemilu 2024 sudah di depan mata. Kaum terdidik, seperti mahasiswa harus berani beda. Menyuarakan agar post truth tidak dimainkan. Agar hajap politik berjalan dengan damai dan harmonis.