Mad Yamin Kamad, Sang Pedagang Asong yang Sukses Jadi Kepala Sekolah

TANGERANG | Orang-orang sukses, besar dan hebat yang kita temui hari ini, dulunya adalah biasa-biasa saja, kecil dan bahkan tidak dilihat dan tidak dianggap oleh banyak orang.

Namun karena kegigihannya, daya juang, obsesi, kekuatan mental, impiannya dan tekad ingin maju begitu luar biasa, maka orang-orang-orang itu kemudian bisa menikmati dan memetik hasilnya. Orang-orang kemudian menaruh hormat kepadanya.

Gambaran itu sangat cocok dengan sosok anak desa, Mad Yamin Kamad. Sebelum menjadi guru dan kemudian Kepala MTsN 2 Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, pria ramah dan murah senyum ini, harus menempuh liku-liku kehidupan yang memprihatinkan.

Misalnya saja, ketika masih duduk di Sekolah Dasar (SD) di kampung halamannya di Desa Rajeg, Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, ia bukannya menghabiskan waktu-waktu mainnya bersama teman-temannya, akan tetapi harus menjadi pedagang asong rokok untuk membantu ekonomi keluarganya.

“Waktu SD pernah saya menjadi pedagang asong rokok. Tapi itu khusus ketika ada pertandingan sepakbola. Bapak saya yang membuatkan kotak untuk jualan rokok dan permen,” ungkapnya.

Pada saat itu, di kampung halamannya ada saja pertandingan-pertandingan sepakbola, seperti pertandingan antarkampung, yang kemudian dimanfaatkan dia untuk berjualan rokok dan permen.

Jika ada berbagai hiburan seperti dangdutan di tempat-tempat hajatan, lagi-lagi Mad Yamin tidak sempat menikmati hiburannya seperti yang dilakukan teman-teman sebayanya. Ia malah sibuk membantu kedua orang tunya berjualan buah-buahan.

“Kalau ada hiburan-hiburan di acara-acara hajatan di kampung saya, saya mah harus membantu orang tua jualan buah-buahan,” ungkap pria yang hobi membaca dan menulis ini.

Meski rajin membantu kedua orang tuanya berjualan, ia tidak melupakan sekolah. Justru sebaliknya, di tengah keterbatsan ekonomi keluarganya keinginannya untuk sekolah semakin menggebu-gebu.

Hal itu sangat berbeda dengan saudara-suadaranya yang tidak mau sekolah tinggi-tinggi, karena pertimbangannya mereka kasihan melihat keberadaan ekonomi kedua orang tuanya.

Namun sebelum berangkat sekolah, Mad Yamin harus membantu ibunya terlebih dulu. “Ibu saya jualan gado-gado. Sebelum berangkat sekolah saya harus membantu ibu dulu, seperti nyiksikan (motongin) kangkung buat gado-gado,” ungkapnya.

Diakuinya, kedua orang tuanya memang betul-betul banting tulang untuk menyekolahkan anak-anaknya. Mereka mau berjualan apa saja yang penting anak-anaknya bisa sekolah dan sekolah.

Orang tuanya tidak pernah mengeluh membiayai anak-anaknya. Mad Yamin juga masih ingat dengan kata-kata ayahnya. “Tong sieun nyakolakeun budak mah, biayana pasti aya wae, ti mana wae,” katanya.

Kata-kata sangat heroik itu, dulu juga sempat membuat ibunya makin semangat membantu mencari biaya tambahan untuk menyekolahkan anak-anaknya dengan cara berjualan gado-gado.

Padahal sebelumnya, ibunya adalah orang yang sangat mengkhawatirkan dengan biaya sekolah anak-anaknya karena ekonomi keluarganya yang pas-pasan.

Seiring dengan bergulirnya waktu, Mad Yamin kemudian meneruskan sekolah ke Pendidikan Guru Agama (PGA) di Serang, Banten setelah lulus di salah satu sekolah agama di kampungnya.

“Yang ada dalam pikiran saya waktu itu, saya harus sekolah dan sekolah. Saya ingin seperti orang-orang yang sekolah itu. Saya ke PGA daftar sendiri karena saking ingin meneruskan sekolah,” katanya.

“Waktu itu, saya sampai ke Serang, ternyata belum dibuka pendaftarannya. Tapi akhirnya ada salah satu panitia yang berbaik hati dan mau mencatatkan nama saya sebagai pendaftar,” imbuhnya.

Mengapa daftar ke PGA, karena ia ingin menjadi guru agama. Cita-cita menjadi guru agama itu terinspirasi oleh guru-gurunya sendiri yang dulu datang jauh-jauh dari Yogyakarta mengajar di sekolah Mad Yamin.

“Guru-guru saya waktu itu muda-muda, cerdas-cerdas. Saya jadi ingin seperti mereka. Saya sering belajar datang ke rumah kos-kosan mereka bersama teman-teman saya. Pokonya, saya ingin jadi guru agama, itu yang ada dalam pikiran saya,” ungkapnya.

Dari guru-gurunya tersebut, Mad Yamin kemudian mendapat motitvasi kuat agar meneruskan sekolah sampai setinggi-tingginya.

“Sejak SD saya memang sudah punya kesadaran ingin sekolah dan sekolah saja, ya ingin hidup seperti orang-orang, ditambah diberikan semangat oleh guru-guru agar saya sekolah terus,” ujarnya.

Setelah lulus PGA, Mad Yamin mendapat kesempatan masuk ke UIN Bandung (dulu IAIN) tanpa tes. Pada saat itu, dari sekolah PGA tidak banyak yang medapat jatah masuk UIN tanpa tes.

“Dulu saya mendapat PMDK, yaitu masuk UIN tanpa tes. Saya berangkat ke Bandung setelah mendapat dukungan penuh dari ayah saya. Geus berangkat wae ka Bandung, kata Bapak saya,” katanya.

Sekolah di perguruan tinggi menurut Mad Yamin, ternyata tidak mudah, terutama dari segi biaya. “Saya lihat banyak juga teman-teman yang datang dari keluarga tidak mampu,” paparnya,

Namun teman-temannya itu tetap gigih kuliah. “Agar mereka bisa tetap kuliah, mereka ada yang tidur di masjid. Ada juga yang menjadi guru ngaji. Ada juga yang dagang,” ungkap Mad Yamin.

Teman-temannnya itu juga yang kemudian menginspirasi Mad Yamin agar tetap bertahan di UIN. Untuk menutupi kekurangan biaya, ia berjualan kertas nasi ke warung-warung.

Di tengah kekurangan biaya kuliah, ia tidak berani meminta tambahan kepada kedua orang tuanya. “Saya tidak berani minta, karena memang keadaan orang tua segitu-gitunya,” paparnya.

Namun ia tidak kehilangan akal. Ia ingin wirausaha seperti dulu jualan asong rokok di pertandingan-pertandingan sepakbola di kampungnya. Ia kemudian bicara kepada temannya kekurangan biaya selama di Bandung dan butuh biaya tambahan.

Ia waktu itu memang tidak mau bicara kepada kedua orang tuanya. “Kalau saya bicara biaya kurang, yang saya khawatirkan keluar omongan dari orang tua saya, geus wae eureun sakolana. Nah, itu yang saya takutkan. Makanya saya diam saja dan yang penting saya bertahan agar bisa lulus kuliah saja, itu tekad saya,” ucapnya.

“Waktu itu ada teman saya yang sudah lebih dulu jualan kertas nasi. Nah, sebagian langganannya dia itu diberikan sama saya. Saya masukin kertas nasi ke warung-warung. Waktu itu untungnya bisa Rp 3.000. Waktu itu tahun 90-an uang segitu luar biasa besar,” katanya.

Namun kedua orang tuannya juga tidak tinggal diam juga, malah semakin semangat dan gigih mencari biaya untuk Mad Yamin. “Untuk membiayai saya, ayah saya beli kulkas dan jualan es,” katanya.

“Saya dengar cerita dari ayah dan ibu saya, dulu waktu saya kuliah beli kulkas dan jualan es. Hasil dari jualan es itu, keuntungannya disisihkan Rp 1.000 per hari dan dikirim ke saya,” ujarnya.

Pada saat itu, jualan es cukup laku, apalagi saat itu para pedagang tidak terlalu banyak seperti saat ini. Namun anehnya setelah ia menyelesaikan kuliahnya, jualan es kedua orang tuanya meredup.

“Waktu saya kuliah, jualan es ayah dan ibu saya laku itu. Betul. Tapi begitu saya selesai kuliah, eh jualan es-nya malah mereduh. Saya juga heran kok bisa begitu,” ungkap Mad Yamin.

Kini Mad Yamin sudah bisa menikmati hasil-hasil perjuangan dari sekolah dan kuliahnya yang sangat melelahkan. Benar kata orang bijak, salah satu faktor yang bisa mengubah masa depan seseorang adalah ilmu, yang salah satunya diperoleh dari dunia pendidikan. Mad Yamin sudah merasakan betul makna semua itu.

Terkini

Agenda

Opini

Tangerang, Kaya Pendapatan Miskin Gagasan

Memahami Demokrasi dan Pemilu di Indonesia

Politik Identitas, Benalu Demokrasi

Inspiratif

Catatan Pinggir

Politik Budgeting

Konsisten atau Dikoyak Sepi

Kelas Menengah Ngehe

Bukan Soal Menang atau Kalah

Verba Volant Scripta Manent

Membaca Ulang Aktor Demokrasi

Pesan untuk KMT