Catatan Sejarah: 2 Maret 1922, Tan Malaka Ditangkap Belanda

Oleh: Wahyudin Arief
Penulis merupakan Asisten Peneliti Visi Nusantara.

SELEPAS menamatkan pendidikannya di Belanda tahun 1911, Tan Malaka pulang ke Indonesia. Ia bekerja di perkebunan Deli. Melihat ketimpangan antara tuan dan pekerja, membuat hatinya tergugah untuk memperjuangkan kaum tertindas.

Tahun 1921, Kongres PKI memilih Tan menjadi ketua, mewakili Semaun yang sedang berada di luar negeri. Hanya butuh satu tahun bagi Tan untuk membuat pemerintah Hindia Belanda tidak bisa tidur nyenyak. Pergerakannya begitu masif.

Pria bernama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka ini, membuat beberapa sekolah rakyat dari Semarang hingga Bandung. Di samping itu, sikapnya yang kritis terhadap Pemerintah Hinda Belanda dan juga melancarkan aksi mogok buruh, membuatnya ditangkap pada tanggal 2 Maret 1922.

“Karena kegiatannya yang terus meningkat, hingga melibatkan diri dalam pemogokan buruh, maka tanggal 2 Maret 1922, Tan Malaka akhirnya ditangkap dan dibuang ke Kupang (Timor)”, tulis W Suwarto, pada Bab Pendahuluan dalam Buku Parlemen atau Soviet karya Tan Malaka pada 1921 yang diterbitkan ulang Yayasan Massa pada 1987.

Dalam bulan itu juga, pemerintah Hindia Belanda mengubah keputusannya menjadi ekternering atau pengasingan ke Negeri Belanda.

Audrey Kahin dalam bukunya yang berjudul Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 menulis, “usai diasingkan ke Belanda pada 1922 tersebut, Tan Malaka kemudian pergi ke Soviet”.

Senada dengan Audrey, Harry Poeze, dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia mengatakan, “Di Soviet, Tan Malaka kemudian di angkat menjadi wakil Komintern wialayah Asia Tenggara. Tahun 1923, Tan Malaka membuka kantor pusat di Canton, kemudian pindah ke Manila pada 1925 dan ke Singapura pada 1926”.

Hampir semua negara Asia Timur dan Asia Tenggara ia hampiri. Hidup sengsara di tempat persembunyiannya. Menghindari kejaran polisi-polisi rahasia. Tan baru bisa kembali ke tanah air secara diam-diam pada masa pendudukan Jepang.

Hidup dalam pengembaraan, membuatnya semakin kritis. Memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dari bawah tanah. Melalui bukunya, Tan banyak mengilhami tokoh pergerakan pada masanya.

Sebut saja buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925. Buku inilah yang menginspirasi Hatta menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pledoi di depan pengadilan Den Haag pada 1928, kemudian Sukarno dengan Indonesia Menggugat pada 1933.

Terkini

Agenda

Opini

Tangerang, Kaya Pendapatan Miskin Gagasan

Memahami Demokrasi dan Pemilu di Indonesia

Politik Identitas, Benalu Demokrasi

Inspiratif

Catatan Pinggir

Politik Budgeting

Konsisten atau Dikoyak Sepi

Kelas Menengah Ngehe

Bukan Soal Menang atau Kalah

Verba Volant Scripta Manent

Membaca Ulang Aktor Demokrasi

Pesan untuk KMT